Museum Perjuangan Tridaya Eka Dharma
Di Kota Bukittinggi ,Sumatra Barat, sebuah
sarana komunikasi antar generasi didirikan. Museum Perjuangan Tridaya Eka
Dharma mereka menyebutnya, yang artinya tiga kekuatan untuk satu pengabdian.
Bangunannya sedikit berbeda dengan museum-museum perjuangan lain. Desainnya layaknya sebuah rumah, karna memang dulu bangunan ini adalah rumah peristirahatan Gubernur Sumatra. Ruangan didalamnya pun tidak terlalu luas. Tapi tentu saja tidak dengan beragam kenangan didalamnya yang begitu tidak terbatas. Museum yang diresmikan oleh Bung Hatta ini, akan mengajak para pengunjung untuk menangkap pesan dari para pejuang bangsa, akan merangkul pengunjungnya untuk ikut menyaksikan kepingan demi kepingan peristiwa yang membangun Indonesia.
Memasuki area museum, pengunjung akan
disambut oleh gagahnya pesawat AT 16 Harvard. Mesin pembunuh buatan Amerika
Serikat ini digunakan dalam operasi penumpasan PRRI di Sumatra Barat.
Bukittinggi,Solok,Payakumbuh, Indaruang menjadi
bagian dari titik operasinya.
Setelah pesawat AT 16 Harvard, keberadaan relief yang akan menarik perhatian. Relief ini berada didinding depan museum. Bukan sekedar hiasan, melainkan inilah gambaran dari rangkaian perjuangan yang tak mudah dilupakan. Gambaran suasana perang di periode sebelum proklamasi kemerdekaan, periode perang kemerdekaan, periode demokrasi termimpin/liberal,dan periode orde baru. Semuanya membaur mengajak pengunjung untuk menelusuri lebih dalam apa saja saksi-saksi bisu sejarah yang ada didalam bangunan ini.
Jajaran foto presiden dan wakil presiden Indonesia
dari masa ke masa adalah objek pertama yang bisa dilihat ketika memasuki
ruangan museum ini. Dibawahnya terdapat dokumentasi peristiwa dan kegiatan di
masa pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Di sisi kanan, terpajang bendera
merah putih yang telah lusuh dan pudar. Menyimbolkan bahwa selembar kain ini
lah yang telah lama menjadi taruhan dari setiap langkah perjuangan.
Atmosfer sejarah begitu kental terasa
ketika mata menatap sebuah alat pemancar radio hitam berukuran tinggi dan
besar. Yengkie Bravo Juliet 6, satu-satunya pemancar radio yang masih bertahan dari serangan bom Belanda. Dengan berat
lebih dari 150 kg dan tinggi lebih dari 160 cm, perangkat komunikasi ini
digotong para pejuang melintasi rimba Sumatera bagian Tengah agar komunikasi dengan pemerintah serta dengan daerah lain tidak terputus.Dari
Bukittinggi, menuju Kabupaten 50 Kota, bahkan hingga Kabupaten Tanah Datar. Negara dan daerah lain harus tahu bahwa
Indonesia masih ada, hanya itu yang ada didalam kepala mereka. Meskipun
gempuran Belanda terus mengintai, dan nyawa menjadi taruhannya, namun yang
mereka tahu hanya satu, berjuang! Akhirnya, dari pemancar ini PDRI berhasil
menjalin hubungan dengan India. Dari India, informasi keberadaan dan perjuangan
bangsa Indonesia disebarluaskan ke seluruh dunia. Indonesia masih ada,dan akan
terus ada. Itu yang akhirnya diketahui oleh dunia. Dan YBJ 6 pun menjadi
penyelamat Republik Indonesia.
Tidak ingin kalah oleh
alat pemancar ini. Deretan alat komunikasi,pakaian serta perlengkapan yang
pernah digunakan tentara Indonesia dan tentara asing pun turut mengentalkan
suasana zaman dahulu. Belum lagi jika pengunjung memasuki ruangan persenjataan.
Ada rasa tegang diliputi kekaguman menyaksikan deretan persenjataan para
pejuang dulu, tidak sedikit dari senjata-senjata itu yang berhasil disita oleh
tentara Indonesia dari pihak lawan.
Sebuah diorama juga memiliki tempat diruangan
museum ini. Ini adalah gambaran situasi sebuah
peristiwa dalam bentuk tiga dimensi. Diorama tragedi Situjuah Batua yang
terjadi di dekat Kota Payakumbuh. 69 pejuang menjadi korban pembantaian
Belanda.
Diujung ruangan, patung pahlawan revolusi, Jendral Ahmad Yani menanti untuk didekati. Ada rasa bangga memiliki sosoknya yang berjuang untuk negara, ada rasa sedih telah kehilangannya dan ada rasa rindu akan semangatnya berjuang demi bangsa. Rasa haru pun tidak terelakkan ketika kita disajikan gambaran suasana ketika pengangkatan jenazah para pahlawan dari sumur Lubang Buaya, serta rangkaian dokumentasi lain yang menyiratkan betapa berat perjuangan mereka dulu untuk Indonesia.
0 Komentar